Membongkar Kedok PANCASILA dan UUD 45

Posted: Senin, 20 Desember 2010 by Almuwahhidun in Label:
23

Pembahasan ini adalah untuk menunjukkan kepada kita tentang kemusyrikan yang terang dan kekafiran yang nyata dari Pancasila dan UUD 1945. Sehingga tidak ada lagi kesamaran bagi kita untuk mengkafirkan siapa saja yang menerima Pancasila dan UUD 1945, membanggakannya, serta mengamalkannya baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Di dalam Bab XV pasal 36 A : ”Lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.

Pancasila adalah dasar negara, sehingga para Thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara RI, serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia. Setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. [Lihat PPKn untuk SD dan yang lainnya, bahasan Ekaprasetya Pancakarsa].
Jadi dasar negara RI, pandangan hidupnya, serta sumber kejiwaannya
bukan لا إله إلا الله tapi falsafah syirik Pancasila Thaghutiyyah Syaitaniyyah
yang berasal dari ajaran syaitan manusia, bukan dari wahyu samawi ilahi

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an), tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk
(pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(Qs. Al-Baqarah : 2)
Tapi mereka mengatakan : ”Ini Pancasila adalah pedoman hidup bagi bangsa dan pemerintah Indonesia”.

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia...”. (Qs. Al-An’am : 153)
Tapi mereka menyatakan : ”Inilah Pancasila yang sakti, hiasilah hidupmu dengan dengan moral Pancasila”.

Oleh karena itu, dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca : musyrik), para Thaghut (Pemerintah) menjadikan PMP/PPKn sebagai pelajaran wajib di semua lembaga pendidikan mereka.

Sekarang mari kita kupas beberapa butir Pancasila...
Dalam sila I butir II : ”Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan”.

Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan tidak ada hukum yang melarangnya. Seandainya orang muslim murtad dan masuk Nasrani, Hindu, atau Budha, maka itu adalah kebebasannya dan tidak akan ada hukuman baginya. Sehingga ini membuka pintu lebar-lebar bagi kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid Rasulullah bersabda : ”Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Namun kebebasan ini bukan berarti orang muslim bebas melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, tapi ini dibatasi oleh Pancasila, sebagaimana yang tertera dalam butir I : ”Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sehingga bila ada orang murtad dari Islam, terus ada orang yang menegakkan terhadapnya hukum اللّهsubhanahu wata’ala yaitu membunuhnya, maka orang yang membunuh ini pasti dijerat hukum Thaghut.
Dalam sila II butir I : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.
Yaitu bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status itu semua dengan sebab dien (agama), sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Katakanlah : Tidak sama orang buruk dengan orang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menakjubkan kamu”.(Qs. Al-Maaidah : 100)
Dia Ta’ala juga berfirman :
Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”.(Qs. Al-Hasyr : 20)
اللّهsubhanahu wata’ala juga berfirman :
Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”.
(Qs. As-Sajadah : 18)
Sedangkan kaum musyrikin dan Thaghut Pancasila mengatakan : ”Mereka sama”.

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah kitab (yang diturunkan اللّه) yang kamu membacanya, bahwa didalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu”.(Qs. Al-Qalam : 35-38)
Sedangkan budak Pancasila, mereka menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir. Dan saat ditanya, Apakah kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu ? . Mereka menjawab : ”Ya, kami punya. Yaitu PMP/PPKn dan buku lainnya yang dikatakan di dalamnya : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.
Apakah ini Tauhid atau Kekafiran ???
Lalu dinyatakan dalam butir II : ”Saling mencintai sesama manusia”.
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, para Demokrat, para Quburriyyun, para Thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan اللّه ta’ala mengatakan :
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada اللّه dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang اللّه dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”.(Qs. Al Mujadilah : 22)
Kata Pancasila : “Harus saling mencintai meskipun dengan orang-orang non-muslim”. Namun kata اللّه , orang yang saling mencintai dengan mereka bukanlah orang Islam.
اللّه mengajarkan Tauhid,
Tapi Pancasila mengajarkan kekafiran

اللّه subhanahu wata’ala juga berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman setia yang kalian menjalin kasih sayang dengan mereka”.(Qs. Al-Mumtahanah : 1)
Dia subhanahu wata’ala berfirman tentang siapa musuh kita itu :
sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”.(Qs. An-Nisa’ : 101)
Renungi ayat-ayat itu dan amati butir Pancasila di atas.
Yang satu ke timur dan yang satu lagi ke barat,
Sungguh sangat jauh antara timur dan barat

اللّه subhanahu wata’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan para Rasul :
serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya
sampai kalian beriman kepada اللّه saja”.(Qs. Al-Mumtahanah : 4)
Tapi dalam Thaghut Pancasila : “Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa”.
Apakah ini Tauhid atau Syirik ???

Ya, Tauhid... tapi bukan Tauhidullah, namun Tauhid (Penyatuan) kaum musyrikin atau Tauhiduth Thawaaghit.
Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah mengabarkan bahwa :“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena اللّه dan benci karena اللّه.
Namun kalau kamu iman kepada Pancasila, maka cintailah orang karena dasar ini dan bencilah dia karenanya. Kalau demikian berarti adalah orang beriman, tapi bukan kepada اللّه, namun beriman kepada Thaghut Pancasila. Inilah yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang Esa itu bukanlah اللّه dalam agama Pancasila ini, tapi itulah garuda Pancasila.
Enyahlah Tuhan yang seperti itu...
Dan enyahlah para pemujanya....

Dalam sila III butir I : “Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan”.
Inilah yang dinamakan dien (agama) Nasionalisme yang merupakan ajaran syirik. Dalam butir di atas, kepentingan Nasional harus lebih di dahulukan diatas kepentingan golongan (baca : agama). ApabilaTauhid atau ajaran Islam bertentangan dengan kepentingan syirik atau kufur negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului اللّه dan Rasul-Nya”.
(Qs. Al-Hujurat : 1)
Oleh sebab itu, karena Nasionalisme adalah segalanya maka hukum-hukum yang dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh orang-orang kafir asli dan kafir murtad, karena hukum اللّه sangat-sangat menghancurkan tatanan Nasionalisme, ini kata Musyrikun Pancasila.

Sebenarnya kalau dijabarkan setiap butir dari Pancasila itu dan ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Namun disini kita mengisyaratkan sebagiannya saja.
Kekafiran, kemusyrikan dan kezindikan Pancasila adalah banyak sekali. Sekiranya uraian di atas cukuplah sebagai hujjah bagi pembangkang dan sebagai cahaya bagi yang mengharapkan hidayah.
Setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin orang muslim masih mau melagukan : “Garuda Pancasila, akulah pendukungmu...”.
Tidak ada yang melantunkannya kecuali orang kafir mulhid atau orang jahil yang sesat yang tidak tahu hakikat Pancasila.


Sedangkan di dalam UUD 1945 Bab II pasal 3 ayat (1) : ”MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Sudah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum / aturan / undang-undang adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala. Dan bila itu dipalingkan kepada selain اللّه maka itu adalah syirik akbar. اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu bagi-Nya dalam menetapkan hukum”.
(Qs. Al-Kahfi : 26)
اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Hak hukum (putusan) hanyalah milik اللّه. (Qs. Yusuf : 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala, ini artinya MPR adalah arbab (Tuhan-Tuhan) selain اللّه, dan orang-orang yang duduk sebagai anggota MPR adalah orang-orang yang mengaku sebagai Rabb (Tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka ibadahi. Sehingga ucapan setiap anggota MPR : ”Saya adalah anggota MPR”, artinya adalah ”Saya adalah Tuhan selain اللّه.

UUD 1945 Bab VII pasal 20 ayat (1) : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Padahal dalam Tauhid, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang / hukum / aturan tak lain hanyalah اللّه subhanahu wata’ala.
Dalam pasal 21 ayat (1) : ”Anggota DPR berhak memajukan usul Rancangan Undang-Undang”.
UUD 1945 Bab III pasal 5 ayat (1) : ”Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahkan kekafiran itu tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para Thaghut itu, tapi itu semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat tapi harus sesuai UUD 1945, sebagaimana dalam Bab I pasal 1 ayat (2) : ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Begitu juga Presiden, sebagaimana dalam Bab III pasal 4 ayuat (1) UUD 1945 : ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bukan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi menurut Undang-Undang Dasar.
Apakah ini islam ataukah kekafiran ???

Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final dikembalikan kepada Mahkamah Thaghut yang mereka namakan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX pasal 24C ayat (1) : ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.

Padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada اللّه dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada اللّه (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar benar beriman kepada اللّه dan hari kemudian".
(Qs. An Nisa' : 59)
Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”(firman اللّه) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus persengketaannya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada اللّه dan hari akhir”. [Tafsir Al-Qur’an Al-’Adhim : II / 346].

Ini adalah tempat untuk mencari keadilan dalam Islam, tapi dalam ajaran Thaghut RI, keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang murtad masuk ke agama lain adalah hak kemerdekaannya dan tidak ada sanksi hukum atasnya. Padahal dalam ajaran اللّه subhanahu wata’ala, orang murtad punya dua pilihan, kembali ke Islam atau dihukum mati, sebagaimana sabda Rasulullah :
Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, tumbal, mengkultuskan seseorang, dan perbuatan syirik lainnya, dia mendapat jaminan UUD, sebagaimana dalam Bab XI pasal 29 ayat (2) : ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap meskipun kekafiran adalah hak yang dilindungi Negara dengan dalih HAM, sebagaimana dalam Bab XA pasal 28E ayat (2) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Budaya syirik dan berhalanya mendapat jaminan penghormatan dengan landasan hukum Thaghut, sebagaimana dalam Bab yang sama pasal 28 I ayat (3) : ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

UUD 1945 juga menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir, sebagaimana didalam Bab X pasal 27 ayat (1) : ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Padahal اللّه subhanahu wata’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
اللّه Ta’ala berfirman :
Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”.(Qs. Al-Hasyr : 20)
اللّه subhanahu wata’ala berfirman seraya mengingkari kepada orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka :
Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”.(Qs. Al-Qalam : 35 - 36)
Dia subhanahu wata’ala berfirman :
Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”.
(Qs. As-Sajadah : 18)
اللّه subanahu wata’ala menginginkan adanya garis pemisah yang syar’i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan budak Undang-Undang negeri ini ingin menyamakan antara mereka.
Siapakah yang lebih baik ???
Tentulah aturan اللّه Yang Maha Esa yang lebih baik

Menyikapi Bentuk-Bentuk Pemerintahan

Posted: Selasa, 14 Desember 2010 by Almuwahhidun in Label: ,
1

Berkata Syeikh Abu Bashir: “Permasalahan keluar dari pemerintahan dan kedudukannya dalam Islam merupakan sebagian dari masalah-masalah penting, mayoritas manusia memiliki dua pendapat: pendapat yang berlebih-lebihan yaitu mereka yang mengatakan untuk keluar dari pemerintahan ketika melihat pemerintahan Islam suatu ketika melakukan pelanggaran syar`i ringan. Contohnya ialah golongan Khawarij dan siapa saja yang mengikuti konsep mereka, mereka telah tercampak dalam ghulu (berlebih-lebihan).
Pendapat kedua adalah golongan yang meremehkan….Bahkan mereka berpendapat untuk tidak keluar dari pemerintahan para thagut dan pemerintahan murtad. Mereka ini condong kepada penafsiran pendapat yang dilontarkan oleh kaum Irja` (Murjiah) dan Jahmiyah, yang menganalogikan kondisi mereka dengan kondisi pemerintahan Bani Umayah dan Abasiyah.
Diantara kedua pendapat diatas….Adalah pendapat ketiga yang berada ditengah-tengah anatar keduanya, berdiri diatas landasan kebenaran dam kesesuiannya dengan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah, berdiri dinatara berlebih-lebihan dan meremekan, merekalah yang mengikuti prinsip Ahlus-Sunnah wal Jamaah.
Kajian yang kami bahas dalam buku ini adalah pendapat ketiga, golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah…..Dari permaslahan penting……Yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah, dan kami yakini dan kami ikuti, kami memandangnya merupakan pendapat yang lebih benar dan haq. Pada pendirian inilah kami berprinsip dalam menetapkannya, insya Allah, sesuai dengan dalil syari dari Kitab dan Sunnah dan pendapat yang di rajihkan oleh para ulama salaful ummah.
Tentang permasalahan pemerintahan saya berkata:
Sesungguhnya pemerintahan itu terbagi menjadi empat kriteria; Pemerintahan kafir, pemrintahan muslim, pemerintahan muslim fasik dan permerintahan muslim yang sangat fasik, fajir dan zalim. Hukum dalam menyikapi mereka berbeda satu dengan yang lainnya, dan bagi Anda kami akan menerangkannya.

1. Pemerintahan kafir
Pemerinathan kafir, sama saja kekafirannya dari sudut kafir murtad maupun kafir asli yang menguasai negeri muslimin….maka wajib bagi muslimin berdasar nash dan ijma` (kesepakatan ulama) untuk kelaur dari pemerintahan mereka dengan kekuatan sampai muslimin mampu melengserkannya dan menggantinya dengan pemnerintahan muslim yang adil, yang mengatur negeri dan manusia dengan Islam dan syareatnya..
Allah berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnakan orang-orang yang beriman”
Salah satu bentuk jalan bagi orang kafir untuk memusnahkan kaum mukminin dengan cara memegang kendali pemerintahan atas mereka….memerintah mukminin dengan hawa hafsu mereka, undang-undang dan syareat yang mereka ciptakan.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.
Tidak ada orang-orang yang paling melampaui batas dan paling melakukan kerusakan di muka bumi melebihi dari pelampauan batas dan kerusakan yang dibuat oleh para thagut kufur dan murtad yang menerapkan hokum pada umat dnegan syareat kafir dan rusak…..!
Dalam sebuah hadits riwayat mutafaq alaih (Bukhari Muslim) , dari Ubadah bin Shamit dia berkata:
“Nabi saw menyeru kami maka kami membaiatnya. Kmai membaiatnya untuk mendengar dan taat dalam urusan yang kami senangi maupun kami tidak sukai, baik berat maupun mudah. Dan menunjuki kami untuk tidak melengserkan kepemimpinan seseorang kecuali bila terlihat kekafiran yang jelas, kalian memiliki bukti-bukti terang disisi Allah”.
Hadist menerangkan –dengan sanbgat jelas- bahwa pemerintahan dengan peraturan-peraturannya dan teritorialnya tidak boleh dijatuhkan kecuali bila terlihat kekafiran yang tidak meragukan –kekafiran yang tidak memrlukan penafsiran lain -, dan kita memiliki dalil-dalil nyata atas kekafirannya dari Kitab dan Sunnah. Bila memang kedapatan kenyataan ini, maka aplikasi dari akibat kekafirannya tidak ada mendengar dan taat padanya. Dalil menunjukkan untuk melengserkannya dari permerintahan dan wilayah serta kelaur darinya dengan kekuatan pedang suatu keharusan.
Ibnu hajar dalam Fathul Bary 7/13 berkata: “Bila sultan tercampak dalam kekafiran yang jealsa maka tidak boleh mentaatinyan tetapi wajib memmeranginya bagi yang mampu”.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 12/229 berkata: “Qodhi Iyadh berkata: ‘Seluruh ulama sepakat bahwa imamah tidak boleh dilantikkan pada orang kafir, dan bila imamah terbukti melakukan kekafiran harus dilengserkan’ Qodhi Iyad juga berkata: ‘Begitu pula bila imamah meninggalkan shalat dan tidak memerintah untuk shalat’”.
Saya katakana: Perkataan beliau: “Begitu pula bila imamah meninggalkan shalat dan ntidak memerintahkan shalat” merupakan isyarat sabda Nabi saw dalam shahih Muslim: “Nanti akan muncul pemimpin, kalian menjumpainya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang menjumpainya hendaklah berlepas diri darinya, barangsiapa yang mengingkarinya maka akan selamat. Namun kecelakaanlah bagi yang meridhainya dan mengikutinya”. Para sahabat bertanya: “Apkah kita tidak mmeranginya?” Rasulullah saw menjawab: “Tidak, selama mereka masih shalat”.
Dalam riwayat Muslim yang lain: “Tidak, selama mereka memerintah kalian utnuk shalat. Tidak, selama mereka memerintah kalian utnuk shalat”.
Kesimpulan dari hadist diatas, pemimpin pemerintahan jika kedapatan meninggalkan shalat serta tidak menyuruh rakyat untuk shalat…..telah kafir……wajib untuk keluar darinya dan melengserkannya dengan pedang.
Saya jawab: Pada kondisi ini kaum muslimin haris melakukan tiga tindakan:
a. Mempersiapkan kekuatan –materi maupun mental – sampai memiliki kemampuan untuk keluar darinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dan siapkanlah untuk mengahdapi mereka kekauatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat utnuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya:.
Sayyid Qutb dalam Fi Dzilalil Quran 3/1543 berkata: “Maka melakukan persiapan dengan maksimal kemampuan adalah kewajiban yang menyertai kewajiban jihad, dan nash memmerintah idadul quwwah (memmpersiapkan kekuatan) dengan berbagai macamnya, jenis-jenisnya dan sebab-sebabnya”.
Kondisi lemah untuk kelausr dari pemimpin kafir tidak kemudian duduk santai meninggalkan persiapan mengumpulkan kekuatan. Namun tetap berusaha sesuai kemampuan. Masalah ini dikemablikan pada firman Allah :“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”.
Dalam sebuah hadist Bukahri Muslim juga disebutkan: “Terhadap apa yang aku perintahkan untuknya, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu”.
Al-Izz bin Abdus Salam dalam kitabnya Qawaidul Ahkam 5/2 berkata: “Barangsiapa yang dibebani sesuatu dari perintah taat dan dia mampu mengerjakan sebagian dan lemah dalam mentaati bagian yang lainnya, maka dia mengamalkan apa yang mampu baginya dan meletakkan yang dia tidak mampui”.
Ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawa 28/259: “Dan sebagaimana wajibnya mempersiapkan kekuatan untuk berjihad dengan persiapan kekuatan dan menambatkan kuda dikala kondisi kalah karena lemah, maka sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu tersebut menjadi wajib.
b. Meniggalkannya dan meninggalkan berkerja bersamanya atau dengannya, yaitu meninggalkan seluruh aktivitas yang dapat memeprkuat pemerintahannya. Rasulullah bersabda:
“Sungguh akan dating kepada kalian pemimpin yang lebih dekat kepada sejelek-jelek manusia, mereka mengakhirkan shalat dari waktu yang telah ditetapkan. Barangsiapa yang menjumpai mereka maka janganlah menjadi penasehat, jangan menajadi polisi, pemungut pajak dan jangan menjadi bendahara”.
Rasulullah saw bersabda: “Dengarlah! Apakah kalian telah mendengar nanati setelahku akan muncul pemimpinyang siapa saja bekerja sama dengannya, membenarkan kedustaan mereka, membantu kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan berada pada golongannya. Dia tidak akan mendapati telaga haudh. Dan siapa saja yang tidak menyertainya, tidak membantu atas kelalimnan mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka maka dia berada pada golonganku dan aku bersamanya. Dia akan mendapati telaga haudh”.
Rasulullah saw bersabda: “Nanti akan dating para pemimpin, kalian mendapatinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa melawannya dia akan selamat, baransiapa meninggalkannya selamat dan baransiapa terlibat dengan mreka akan hancur”. Serta hadits-hadist lain yang memerintah untuk menghindari dan menjauhi beramal dengan para thagut zhalim.
Namun bila ada yang menyela dengan mengucapkan statemen: “Hadist-hadist tadi ditujukan kusus untuk para pemimpin yang fajir (bukan kafir-pent). Maka saya jawab: Bila begitu, kalau ditujukan untuk para imam kafir dan para thagut lebih pas dan lebih kuat. Wallahu A`lam.
b. Tidak menghormati dan menaruh simpati pada mereka. Rasulullah saw bersabda: “Jangan mengatakan kepada munafik; tuan kami, karena jika dia menjadi tuan kalian maka Tuhanmu telah murka pada kalian”.
Dalam riwayat lain: “Jika seseorang berkata pada munafik; wahai tuan kami, artinya Rabb dia yang Maha Suci telah murka.”
Saya katakan: Ini terjadi tentang munafik yang menampakkan keislaman, lalu bgaimanakah dnegan kaum muslimin yang meletakkan jihad sehingga memberi kesempatan bagi kafir murtad untuk memerintah dan menjadi tuan bagi mereka……? Tak diragukan lagi, sungguh mereka lebih berhak untuk dimurkai Allah Ta`ala.
Bila perkataan seseorang kepada munafik; wahai tuanku dapat menimbulkan kemurkaan Allah yang Maha Suci, lalu apa jadinya bila perkataan itu ditujukan kepada para thagut kafir dan kaum murtad –seperti yang terjadi pada mayoritas manusia- dengan berbagai pengibaratan pengagungan, ketinggian, pujian dan loyalitas…..?
2. Pemerintahan muslim yang adil
Pembicaraan yang telah kita lalui kusus membahas tentang pemerintahan kafir yang kekafirannya sangat jelas. Cara menyikapi dan bergaul antara persoalan pertama dengan pemerintahan muslim yang adil berbalik 180 derajad. Kepada kalain saya katakan:
Pemerintahan muslim yang adil yaitu pemerintahan yang menerapkan hukum pada negeri dan manusia menurut apa yang telah Allah perintahkan dan tentukan –dalam seluruh segi kehidupan- dengan islam…syareta islam. Inilah pemerintahan wajib bagi muslimin untuk melaziminya kareana bagian dari rukun-rukun agama, dan mereka yang menjauhinya akan terjangkit dosa kabair.
Pemerintahan yang memiliki sifat ini wajib mentaatinya dengan makruf, ketika senang maupun susah. Dan wajib membantunya, menopangnya dan menasehatinya secara zahir maupun batin sebagaimana juga wajib menetapinya dan menghormatinya…..membelanya.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetnang sesuatu, maka kemablikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan rasul-Nya (Sunnah), jika benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Firmannya: “ulil amri”, menurut pendapat yang terkuat dikalangan ahli tafsir yaitu ulama dan pemimpin. sedangkan firmannya “diantara kamu”; menunjukkan suatu penyempitan ketaatan hanya ditujukan kepada ulil amri diantara kalian, maksudnya dari agama kalain, milah kalian dan aqidah kalian. Kemudian barang siapa yang tidak seperti itu maka dia bukanlah diantara kamu (minkum), tidak ada kewajiban mentaatinya.
Dalam sebuah hadist shahih, Rasulullah saw bersabda:“Siapa saja yang memmbangkang dari ketaatan maka ia kan menjumpai Allah tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak ada baiat maka dia mati seperti amtinya jahiliyah”.
Juga sabdanya:“Barangsiapa meningggalkan ketaatan dan keluar dari Al-Jamaah maka dia mati seperti mati jahiliyah”.
Juga sabdanya:“Bagi penghianat dia memiliki bendera dihari kiamat, tingginya sesuai dengan kadar penghianatannya. Sedangkan kianat yang paling besar yaitu kianat pada amirul ammah (pemimpin umum)”. Amirul ammah maksudnya khalifah.
Rasulullah saw bersabda: “Agama itu nasehat”. Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-peminmpin muslimin dan muelimin pada umunya”.
3. Pemerintahan muslim fasiq
Yaitu pemerintahan yang menerapkan hukum Islam namun pemeritahannya diliputi oleh kerusakan-kerusakan yang tidak mengeluarkannya dari Islam.. Hukuh asal bagi pemerintahan jenis ini adalah tidak diperbolehkan untuk sinagkat dan dipilih berdasar firman Allah: “Sesungguhnya Aku akna menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: JanjiKu ini tidak menegnai orang yang zalim”. (2:124)
Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya 2/108: Ibnu Abbas berkata: Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar menjadikan keturunannya sebagai imam, namun allah mengetahui bahwa dalam keturunannya ada orang-orang yang bermaksiat,\ maka Dia berfirman: JanjiKu ini tidak menegnai orang yang zalim”.
Al-Qurthubi berkata: Para ulama mengambil kesimpulan dari ayat ini bahwa imam haruslah dari orang-orang yang adil, ihsan, utama dengan kemampuan yang kuat menegakkan pemerintahannya. Dan inilah yang diperintah Nabi untuk jangan mendongkel kepemerintahannya. Sedangkan ahli fasiq dan dosa serta zalim mereka tidaklah pantas memegang tampuk kepemerintahan sebab Allah berfirman: JanjiKu ini tidak menegnai orang yang zalim.”
Beliau juga berkata di jilid 1/270: “Tidak ada perbedaan diantara kalangan umat bahwa kepemimpinan tidak boleh di berikan kepada orang fasiq”.
Tetapi bila umat dikuasai oleh pemerintahan seperti ini atau imam ketahuan melakukan perbuatan fasiq setelah diangkat, apakah umat harus keluar dari pemerintahannya dengan pedang?
Aku berkata: Pendapat yang paling kuat; untuk tidak dilengserkan agar kerusakan yang lebih besar tidak timbul dan kondisi yang diakibatkan akan lebih runyam dari pada berdiam diri bersabar atas kefasikannya dan penyelewengannya…Inilah yang ditunjukkan oleh nash-nash syareat dan ditetapkan oleh aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.
Dari Ibnu Abbas berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barangsiapa yang melihat dari amirnya sesuatu yang dia benci maka berlaku sabarlah atasnya, karena siapa saja yang meninggalkan jama’ah kemudian mati, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. (Mutafaq alaih)
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 7/13: Ibnu bathal berkata: “dalam hasit merupakan hujah untuk tidak keluar (khuruj) dari sultan walaupun dia fajir. Para fuqoha telah sepakat akan kewajiban taat pada sultan yang berkuasa dan berjihad bersamanya, ketaatan padanya lebih baik dari pada khuruj darinya.walaupun dia tidak menjaga hak darah. Dan hujah-hujah mereka baik dan mereka tidak mengecualikannya kecuali bila sultan ternyata tercampak pada kekufuran yang nyata, bila demikian maka tidak boleh mentaatinya tetapi haruslah berjihad melawannya bagi siapa saja yang mampu”.
4. Pemerintahan muslim fasiq zalim sangat fasiq dan sangat zalim
Saya bekata: dalam persoalan ini, ketika umat mendapat cobaan dibawah pemerintahan seperti ini, maka wajib bagi umat diwakili oleh ahlul hal wal aqdi untuk melengserkannya. Bila ia menolak maka diperangi. Namun harus dengan pertimbangan bahwa khuruj dan memeranginya lebih kecil bahaya dan kerusakannya dari kefasiqan dan kezaliman yang dia telah perbuat. Jika setelah pertimbangan khuruj darinya menimbulkan dampak kerusakan yang lebih luas maka tahan dan bersabar mengamalkan hadist-hadist yang telah disebutkan”.

NKRI dan sikap Muwahhid terhadapnya

Posted: Senin, 13 Desember 2010 by Almuwahhidun in Label: ,
1

Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat semuanya. Wa Ba’du:
Sesungguhnya jika orang kafir ragu atau tidak mengetahui kekafiran dirinya sendiri, maka itu bisa kita maklumi. Namun sangatlah tidak wajar kalau orang yang mengaku bara dari orang kafir, namun tidak mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah kafir, padahal segala tingkah laku, keyakinan dan ucapannya sering dia lihat dan dia dengar.
Banyak orang yang mengaku Islam bahkan mengaku dirinya bertauhid tidak mengetahui bahwa negara tempat ia hidup dan pemerintah yang yang bertengger di depannya adalah kafir. Ketahuilah, sesungguhnya keIslaman seseorang atau negara bukanlah dengan sekedar pengakuan, tapi dengan keyakinan, ucapan dan perbuatannya.
Sesungguhnya kekafiran Negara Indonesia ini bukanlah hanya dari satu sisi yang bisa jadi tersamar bagi orang yang rabun. Perhatikanlah, sesungguhnya kekafiran negara ini adalah dari berbagai sisi, yang tentu saja tidak samar lagi, kecuali atas orang-orang kafir. Inilah sisi-sisi kekafiran Negara Indonesia dan pemerintahnya:
  • Berhukum dengan selain hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah, tetapi berhukum dengan qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang merupakan hasil pemikiran setan-setan berwujud manusia, baik berupa kutipan atau jiplakan  dari undang-undang penjajah (seperti Belanda, Portugis, dll) maupun undang-undang produk lokal. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maaidah: 44)
Ayat ini sangat nyata, meskipun kalangan Murji-ah yang berkedok Salafiy ingin memalingkannya kepada kufur asghar dengan memelintir tafsir sebagian salaf yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya.
Negara dan pemerintah negeri ini lebih menyukai undang-undang buatan manusia daripada Syari’at Allah, maka kekafirannya sangat jelas dan nyata. Kekafiran undang-undang buatan ini sangat berlipat-lipat bila dikupas satu per satu, di dalamnya ada bentuk penghalalan yang haram, pengharaman yang halal, perubahan hukum/ aturan yang telah Allah tetapkan dan bentuk kekafiran lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seseorang di kala menghalalkan keharaman yang sudah di-ijma-kan, atau mengharamkan kehalalan yang sudah di-ijma-kan, maka dia kafir murtad dengan kesepakatan fuqaha”. (Majmu Al Fatawa 3/267)
Bahkan Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan bahwa di antara pentolan thaghut adalah: Orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Kemudian beliau menyebutkan dalilnya, yaitu Surat Al Maidah: 44 tadi. (Risalah fie Ma’na Thaghut, lihat dalam Majmu’ah At Tauhid).
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Tidak ada perselisihan di antara dua orang pun dari kaum muslimin bahwa orang yang memutuskan dengan Injil dari hal-hal yang tidak ada nash yang menunjukkan atas hal itu, maka sesungguhnya dia itu kafir musyrik lagi keluar dari Islam.” (Dari Syarh Nawaqidul Islam ‘Asyrah, Syaikh Ali Al Khudlair)
Bila saja memutuskan dengan hukum Injil yang padahal itu adalah hukum Allah -namun sudah dinasakh-, merupakan kekafiran dengan ijma kaum muslimin, maka apa gerangan bila memutuskan perkara dengan menggunakan hukum buatan setan (berwujud) manusia, sungguh tentu saja lebih kafir dari itu…
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Siapa yang menyelisihi apa yang telah Allah perintahkan kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cara ia memutuskan di antara manusia dengan selain apa yang telah Allah turunkan atau ia meminta hal itu (maksudnya minta diberi putusan dengan selain hukum Allah) demi mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan, maka dia telah melepas ikatan Islam dan iman dari lehernya, meskipun dia mengaku sebagai mukmin.” (Fathul Majid: 270)
Apakah presiden, wakilnya, para menterinya, para pejabat, para gubernur hingga lurah, para hakim dan jaksa, apakah mereka memutuskan dengan hukum Allah atau dengan hukum buatan? Apakah mereka mengamalkan amanat Allah dan Rasul-Nya atau amanat undang-undang? Jawabannya sangatlah jelas. Maka dari itu tak ragu lagi bahwa mereka itu adalah orang kafir.
  • Apakah RI ini berhukum dengan syari’at Allah? Jawabannya: TIDAK.
  • Apakah RI tunduk pada hukum Allah? Jawabannya: TIDAK.
Berarti RI adalah negara jahiliyyah, kafir, zhalim dan fasiq, sehingga wajib bagi setiap muslim membenci dan memusuhinya, serta haramlah mencintai dan loyal kepadanya.
  • Mengadukan kasus persengketaannya kepada thaghut
Di antara bentuk kekafiran adalah mengadukan perkara kepada thaghut. Saat terjadi persengketaan antara RI dan pihak luar, maka sudah menjadi komitmen negara-negara anggota PBB adalah mengadukan kasusnya ke Mahkamah Internasional yang berkantor di Den Haag Belanda. Maka inilah yang dilakukan RI, misalnya saat terjadi sengketa dengan Malaysia tentang kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, mengadulah negara ini ke Mahkamah Internasional. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa dirinya beriman kepada apa yang telah Allah turunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu, seraya mereka ingin merujuk hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya. Dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sangat jauh”. (An Nisaa: 60)
Yang jelas sesungguhnya negara ini pasti mengadukan kasus sengketanya dengan negara lain kepada Mahkamah Internasional, padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul serta ulil ‘amri di antara kalian. Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih indah akibatnya”. (An Nisaa: 59)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“(Firman Allah) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus persengketaannya kepada Al Kitab dan As Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim: 346)
Hukum internasional adalah rujukan negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sedangkan itu adalah salah satu bentuk thaghut dan merujuk kepadanya adalah kekafiran dengan ijma ‘ulama.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Siapa yang meninggalkan hukum paten yang diturunkan kepada Muhammad ibnu ‘Abdillah –sang penutup para Nabi- dan ia justeru merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang merujuk hukumkepada ILYASA dan ia lebih mendahulukannya daripada hukum (yang dibawa Rasulullah). Siapa yang melakukan itu, maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah wan Nihayah: 13/119)
Jadi ‘konstruksi’ Ilyasa atau Yasiq tersebut adalah sama persis dengan kitab-kitab hukum yang dipakai di negara ini dan yang lainnya
  • Negara dan pemerintah ini berloyalitas kepada orang-orang kafir, baik yang duduk di PBB atau yang ada di Amerika, Eropa dll, serta membantu mereka dalam rangka membungkam para muwahhidin mujahidin
Bukti atas hal ini sangatlah banyak. Salah satunya yang paling menguntungkan kaum kuffar barat dan timur, yang banyak menjebloskan para mujahidin ke dalam sel-sel besi adalah diberlakukannya Undang-undang Anti Jihad (menurut bahasa mereka Undang-undang Anti Terorisme), dan tentu saja negara ini pun ikut aktif dalam hal itu dengan memberlakukan UU Anti Terorisme.© Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“……..Dan siapa yang tawalliy (memberikan loyalitas) kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia tergolong bagian mereka”. (Al Maaidah: 51)
Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah telah menyebutkannya dalam risalah beliau tentang Pembatal Keislaman.
  • Memberikan atau memalingkan hak dan wewenang membuat hukum dan undang-undang kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
Telah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum atau aturan atau undang-undang adalah hak khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, jika itu dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala maka menjadi salah satu bentuk dari syirik akbar. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
  • “Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya.”
Dalam qiro’ah Ibnu ‘Amir yang mutawatir:
Dan janganlah kamu sekutukan seorang pun dalam hukum-Nya.(Al Kahfi: 26)
  • Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah.(Yusuf: 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, sehingga pelimpahan sesuatu darinya kepada selain Allah adalah syirik akbar, sedangkan di NKRI hak dan wewenang pembuatan hukum/ aturan diserahkan kepada banyak sosok dan lembaga, yaitu kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dll.
Inilah bukti-buktinya:
  • UUD 1945 Bab II Pasal3 ayat 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar”. Ini artinya MPR adalah arbab (tuhan-tuhan) selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Orang-orang yang duduk sebagai anggotanya adalah orang-orang yang mengaku sebagai ilah (tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya dalam Pemilu adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka ibadati. Sehingga ucapan setiap anggota MPR: “Saya adalah anggota MPR” bermakna “Saya adalah tuhan selain Allah”.
  • UUD 1945 Bab VII Pasal 20 ayat 1: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang”. Padahal dalam Tauhid pemegang kekuasaan Undang-undang/hukum/aturan tak lain hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
  • UUD 1945 Bab VII Pasal 21 ayat 1: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
  • Bab III PAsal 5 ayat 1: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahkan kekafirannya tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para thaghut itu, tapi semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat apa saja TAPI harus sesuai dengan UUD, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 1 (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Presiden pun kekuasaannya dibatasi oleh UUD sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Bab III Pasal 4 (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Jadi jelaslah, BUKAN menurut Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi menurut Undang-Undang Dasar Thaghut. Apakah ini Islam atau kekafiran…?!
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX Pasal 24c (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutuskan pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
Perhatikanlah, padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya:
“…….Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, bila kalian (memang) beriman kepada Allah dan Hari Akhir”. (An Nisaa: 59)
Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Ini) menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk dalam hal sengketa kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir ”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim 2/346)
Demikianlah, dalam Islam Al Qur’an dan As Sunnah adalah tempat untuk mencari keadilan, tetapi dalam ajaran thaghut RI keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.
  • Pemberian hak untuk berbuat syirik, kekafiran dan kemurtadan dengan dalilh kebebasan beragama dan HAM
Undang Undang Dasar Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang yang murtad dengan masuk agama lain merupakan hak kemerdekaannya dan tak ada sanksi hukum atasnya, padahal dalam ajaran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala orang yang murtad hanya memiliki dua pilihan: Kembali pada Islam atau menerima sanksi bunuh, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
Siapa yang mengganti dien-nya, maka bunuhlah dia”. (Muttafaq ‘Alaih)
Berhala-berhala yang disembah baik yang berbentuk batu atau selainnya dan budaya syirik dalam berbagai bentuk, seperti meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, memberikan tumbal, mengkultuskan sosok dan bentuk-bentuk syirik lainnya mendapatkan jaminan perlindungan sebagaimana tercantum dalam:
  • Bab XI Pasal 28 I (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
  • Bab XI Pasal 29 (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu“.
Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap, meskipun berbentuk kekafiran adalah hak yang dilindungi negara:
  • Bab X A Pasal 28E (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
  • Bab X A Pasal 28E (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
  • Menyamakan antara orang kafir dengan orang muslim
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
Tidaklah sama (calon) penghuni neraka dengan penghuni surga…
(Al Hasyr: 20)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman seraya mengingkari orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka:
  • Apakah Kami menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang mujrim (kafir)”. (Al Qalam 35-36)
  • Dan apakah orang-orang yang beriman itu seperti orang-orang yang fasiq? (As Sajdah: 18)
  • Katakanlah: Tidak sama orang yang busuk dengan orang yang baik”. (Al Maaidah: 100)
  • Allah Subhaanahu Wa Ta’ala ingin memilah antara orang kafir dengan orang mukmin:
Agar Allah memilah orang yang buruk dari orang yang baik”. (Al Anfaal 37)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menginginkan adanya garis pemisah syar’i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan budak undang-undang negeri ini ingin menyamakan antara mereka, sehingga termaktub dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Maka dari itu mereka MENGHAPUS segala bentuk pengaruh agama dalam hal pemilahan dan perbedaan di antara masyarakat. Mereka sama sekali tidak menerapkan sanksi yang bersifat agama dalam UU mereka. Mereka tidak menggunakan sanksi yang telah Allah turunkan, dan yang paling fatal adalah tak ada sanksi bagi orang yang murtad. Karena mereka menyamakan semua pemeluk agama dalam hal darah dan kehormatan, kemaluan dan harta, serta mereka menghilangkan segala bentuk konsekuensi hukum akibat kekafiran dan kemurtadan.
Renungkanlah, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membedakan antara muslim dan kafir, tapi hukum thaghut justeru menyamakannya. Maka siapakah yang lebih baik? Tentulah aturan Allah Yang Maha Esa.
  • Sistem yang berjalan adalah demokrasi
“Kekuasaan (hukum) ada di tangan rakyat” (bukan di Tangan Allah), itulah demokrasi, dan sistem inilah yang berjalan di negara ini. Dalam UUD 1945 Bab I Pasal 1(2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Sehingga disebutkan juga dalam Bab X A Pasal 28 I(5): “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka……”dll
Kedaulatan, kekuasaan serta wewenang hukum dalam ajaran dan dien (agama) demokrasi ada di tangan rakyat atau mayoritasnya. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
  • “Dan apa yang kalian perselisihkan di dalamnya tentang sesuatu, maka putusannya (diserahkan) kepada Allah”. (Asy Syura: 10)
( “Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir”. (An Nisaa: 59)
  • “(Hukum) putusan itu hanyalah milik Allah”. (Yusuf: 40)
Namun para budak UUD mengatakan: “Putusan itu hanyalah milik rakyat lewat wakil-wakilnya, apa yang ditetapkan oleh Majelis Rakyat ‘boleh’, maka itulah yang halal, dan apa yang ditetapkan ‘tidak boleh’, maka itulah yang haram”. Inilah yang dimaksud oleh pasal di awal pembahasan point ini.
Dalam agama demokrasi, keputusan yang benar yang mesti dijalankan adalah hukum atau putusan mayoritas, sebagaimana yang dinyatakan UUD 1945 Bab II Pasal 2(3): “Segala putusan Majelis Permusyawaratan rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak”. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan:
  • Dan bila kamu mentaati mayoritas orang yang ada di bumi, tentulah mereka menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Al An’am: 116)
  • “Dan tidaklah mayoritas manusia itu beriman, meskipun kamu menginginkannya”. (Yusuf: 103)
  • “….namun mayoritas manusia tidak mengetahuinya”. (Al Jatsiyah: 26)
  • “….Namun mayoritas manusia itu tidak mensyukurinya”. (Ghafir: 61)
  • “……Namun mayoritas manusia itu tidak beriman”. (Ghafir: 59)
  • “Dan mayoritas manusia tidak mau, kecuali mengingkari”.(Al Furqaan: 50)
  • “Dan mayoritas mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mereka itu menyekutukan(Nya)”. (Yusuf: 106)
  • “Dan mayoritas mereka tidak suka pada kebenaran”. (Al Mu’minuun: 70)
  • “….Bahkan mayoritas mereka tidak memahami”. (Al ‘Ankabuut: 63)
Cobalah bandingkan dengan agama demokrasi yang dianut oleh pemerintah dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) !!
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan:
Dan putuskan di antara mereka dengan pa yang telah Allah turunkan dan jangan ikuti keinginan-keinginan mereka, serta hati-hatilah mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu”. (Al Maaidah: 49)
Tetapi dalam agama demokrasi: Putuskanlah di antara mereka dengan apa yang mereka gulirkan dan ikutilah keinginan mereka serta hati-hatilah kamu menyelisihi apa yang diinginkan rakyat…
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya”. (Al Kahfi: 26)
Namun dalam agama demokrasi, bukan sekedar menyekutukan selain Allah dalam hukum, tetapi hak dan wewenang membuat hukum itu secara frontal dirampas secara total dari Allah dan dilimpahkan kepada rakyat (atau wakilnya).
Rakyat atau wakil-wakilnya adalah tuhan dalam agama demokrasi, maka seandainya ada orang yang mau menggulirkan hukum Allah (misalnya sebatas pengharaman khamr atau penegakkan rajam) tentu saja harus disodorkan dahulu kepada DPR untuk dibahas bersama presiden, demi mendapatkan persetujuan bersama. (Betapa mengerikannya hal ini, karena wahyu Allah -Tuhan alam semesta- harus terlebih dahulu mendapat persetujuan makhluk bumi yang hina…ed)
Dalam realitanya pengguliran hukum Allah itu tak mungkin terwujud, karena setiap peraturan tak boleh bertentangan dengan konstitusi negara, yaitu UUD 1945.
Agama demokrasi menjamin bahwa rakyat memiliki hak untuk bebas memilih, bila rakyat memilih kekafiran dan kemusyrikan, maka itulah kebenaran…
Enyahlah ajaran busuk ini dan enyahlah syaithan yang mewahyukannya…!!!
  • NKRI berlandaskan Pancasila
Pancasila -yang notabene hasil pemikiran manusia- adalah dasar negara ini, sehingga para thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, dasar negara RI serta sumber kejiwaan masyarakat dan negara RI, bahkan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia dan setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. (Silahkan lihat buku-buku PPKn atau yang sejenisnya).
Jadi dasar negara RI, pandangan hidup dan sumber kejiwaannya bukanlah Laa ilaaha illallaah, tapi falsafah syirik Pancasila thaghutiyyah syaithaniyyah yang digali dari bumi Indonesia bukan dari wahyu samawiy ilahiy.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
Itulah Al Kitab (Al Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(Al Baqarah: 2)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila, pedoman hayati bagi bangsa dan pemerintah Indonesia. (=Inilah Pancasila, tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman) bagi bangsa dan pemerintah Indonesia)
Kemudian kami katakan kepada mereka: Inilah Pancasila, sungguh tak ada keraguan, sebagai pedoman kaum musyrikin Indonesia.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“……..Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia..(Al An’am: 153)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila Sakti, maka hiasilah hidupmu dengan moral Pancasila.
Dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca: musyrik), para thaghut menjadikan PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) atau Pendidikan Kewarganegaraan atau Tata Negara atau Kewiraan sebagai mata pelajaran bagi para sisiwa atau mata kuliah wajib bagi para mahasiswa. Siapa yang tak lulus dalam matpel atau matkul ini, maka jangan harap dia lulus dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Dalam kesempatan ini, marilah kita kupas beberapa butir dari sila-sila Pancasila yang sempat (bertahun-tahun) wajib dihafal, diujikan dan dijadikan materi penataran P4 di era ORBA:
Sila ke-1 Butir ke-2:
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya. Seandainya ada muslim yang murtad dengan masuk Nasrani, Hindu atau Budha, maka berdasarkan Pancasila itu adalah hak asasinya, kebebasannya, dan tidak ada hukuman baginya, bahkan si pelaku mendapat jaminan perlindungan. Hal ini jelas membuka lebar-lebar pintu kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid, Rasulullah bersabda:
“Siapa yang merubah dien (agama)nya, maka bunuhlah dia” (Muttafaq ‘alaih)
Di sisi lain banyak orang muslim tertipu, karena dengan butir ini mereka merasa dijamin kebebasannya untuk beribadat, mereka berfikir toh bisa adzan, bisa shalat, bisa shaum, bisa zakat, bisa haji, bisa ini bisa itu, padahal kebebasan ini tidak mutlak, kebebasan ini tidak berarti kaum muslimin bisa melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, lihatlah apakah di Indonesia bisa ditegakkan had? Apakah kaum muslimin bebas untuk ikut serta di front jihad manapun? Tentu tidak, karena dibatasi oleh butir Pancasila yang lain.
Sila ke-1 Butir ke-1:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang beradab
Ya, beradab menurut ukuran isi otak mereka, bukan beradab sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Contoh: Ada orang yang murtad dari Islam, lalu ada muslim yang menegakkan hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan membunuhnya, maka orang yang membunuh demi menegakkan hukum Allah ini jelas akan ditangkap dan dijerat hukum thaghut lalu dijebloskan ke balik jeruji besi.
Berdasarkan butir ini, seorang muslim pun tidak bisa nahyi munkar, contoh: jika seorang muslim melihat syirik –sebagai kemunkaran terbesar- dilakukan, misalnya ada yang menyembah batu atau arca, minta-minta ke kuburan, mempersembahkan sesajen atau tumbal, maka bila ia bertindak dengan mencegahnya atau mengacaukan acara ritual musyrik itu, maka sudah pasti dialah yang ditangkap dan dipenjara (dengan tuduhan mengacaukan keamanan atau merusak program kebudayaan dan pariwisata, ed ), padahal nahyi munkar adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya dalam agama Islam. Lalu apakah arti kebebasan yang disebutkan itu? Bangunlah wahai kaum muslimin, jangan kau terbuai sihir para thaghut…
Sila ke-2 Butir ke-1:
Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara
sesama manusia
Maknanya adalah tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status derajat, hak dan kewajiban dengan sebab dien (agama), sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
  • Katakanlah: Tidak sama orang yang buruk dengan orang yang baik, meskipun banyaknya yang buruk menakjubkan kamu”. (Al Maaidah: 100)
  • “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan yang bisa melihat, tidak pula kegelapan dengan cahaya, dan tidak sama pula tempat yang teduh dengan yang panas, serta tidak sama orang-orang yang hidup dengan yang sudah mati”. (Faathir: 19-22)
  • “Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”. (Al Hasyr: 20)
  • “Maka apakah orang yang mu’min (sama) seperti orang yang fasiq? (tentu) tidaklah sama…” (As Sajdah: 18) (Sedangkan kaum musyrikin dan thaghut Pancasila menyatakan: “Mereka sama…”)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka apakah Kami menjadikan orang-orang Islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah Kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu baca, di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu?”. (Al Qalam: 35-38)
Sedangkan budak Pancasila menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir.
Jika kita bertanya kepada mereka: Apakah kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu?
Mereka menjawab: Ya, tentu kami punya, yaitu buku PPKn dan buku-buku lainnya yang di dalamnya menyebutkan: Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia.
Wahai orang yang berfikir, apakah ini Tauhid atau kekafiran….?
Sila ke-2 Butir ke-2
Saling mencintai sesama manusia
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Budha, Hindu, Konghucu, kaum sekuler, kaum liberal, para demokrat, para quburiyyun, para thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan:
”Engkau tidak akan mendapati orang-orang yang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau karib kerabat mereka” (Al Mujaadilah: 22).
Pancasila berkata: Haruslah saling mencintai, meskipun dengan orang non muslim (baca: Kafir).
Namun Allah memvonis: Orang yang saling mencintai dengan orang kafir, maka mereka bukan orang Islam, bukan orang yang beriman.
Jadi jelaslah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala mengajarkan Tauhid, sedangkan Pancasila mengajarkan kekafiran. Dia berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai auliya yang mana kalian menjalin kasih sayag terhadap mereka”. (Al Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”. (An Nisaa: 101)
Renungilah ayat-ayat suci tersebut dan amati butir Pancasila di atas. Lihatlah, yang satu arahnya ke timur, sedangkan yang satu lagi ke barat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan oleh para Rasul:
“…Serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Al Mumtahanah: 4)
Namun dalam ajaran thaghut Pancasila: Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa dengan sesama manusia apapun keyakinannya.
Apakah ini tauhid atau syirik? Ya tauhid, tapi bukan tauhidullah, namun tauhid (penyatuan) kaum musyrikin atau tauhidut thawaaghiit.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah
dan benci karena Allah”.
Namun seseorang yang beriman kepada Pancasila akan mencintai dan membenci atas dasar Pancasila. Dia itu mu’min (beriman), tapi bukan kepada Allah, namun iman kepada thaghut Pancasila. Inilah makna yang hakiki dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun Yang Maha Esa dalam agama Pancasila bukanlah Allah, tapi itulah Garuda Pancasila yang melindungi pemuja batu dan berhala !!!
Enyahlah tuhan esa yang seperti itu…dan enyahlah pemujanya…
Sila ke-3 Butir ke-1
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan
Inilah yang dinamakan dien (agama) nasionalisme yang juga merupakan salah satu bentuk ajaran syirik, karena menuhankan negara (tanah air). Dalam butir di atas disebutkan bahwa kepentingan nasional harus didahulukan atas kepentingan apapun, termasuk kepentingan golongan (baca: agama). Jika ajaran Tauhid (dien Islam) bertentangan dengan kepentingan syirik dan kekufuran negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
  • “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hujurat: 1)
  • “Katakanlah: Bila ayah-ayah kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, karib kerabat kalian, harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah yang engkau sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah….” (At Taubah: 24)
Maka dari itu jika nasionalisme adalah segalanya, maka hukum-hukum yang dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh kaum kafir asli dan kaum kafir murtad. Syari’at Islam yang utuh tak mungkin ditegakkan, karena menurut mereka syari’at (hukum) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala sangat-sangat menghancurkan tatanan kehidupan yang berdasarkan paham nasionalis.©
Sebenarnya jika setiap butir dari sila-sila Pancasila itu dijabarkan seraya ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Penjabaran di atas hanyalah sebagian kecil dari bukti kerancuan, kekafiran, kemusyrikan dan kezindiqan Pancasila sebagai hukum buatan manusia yang merasa lebih adil dari Allah. Uraian ini insya Allah telah memenuhi kadar cukup sebagai hujjah bagi para pembangkang dan cahaya bagi yang mengharapkan lagi merindukan hidayah.
Maka setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin bagi seseorang yang mengaku sebagai muslim masih mau melantunkan lagu: “Garuda Pancasila… akulah pendukungmu… … … sedia berkorban untukmu… …?’ Sungguh, tak ada yang menyanyikannya, kecuali seorang kafir mulhid atau orang jahil yang sesat, yang tidak tahu hakikat Pancasila.
Pembaca sekalian, demikianlah sebagian kecil dari sisi-sisi kekafiran NKRI. Ini hanyalah ringkasan kecil dari kekafiran-kekafiran nyata yang beraneka ragam.
Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara zhalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan uraian nash-nash syar’iy di atas. Begitu juga pemerintahnya, karena tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada pemerintah pelaksananya. Sehingga wajib atas setiap orang muslim untuk membenci dan memusuhinya serta haram cinta dan loyalitas kepadanya.
Setelah memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisa: 59 tentang kewajiban taat kepada ulul amri, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari kalangan kalian” yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah thaghut, orang musyrik, orang-orang kafir lagi murtad, sedangkan orang-orang murtad itu adalah lebih buruk daripada orang kafir asli berdasarkan ijma para ulama. Jadi, jelaslah isi ayat itu tidak sesuai  dengan pemerintah ini.
Akan tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah:
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (At Taubah: 12)
Jadi yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas, akan tetapi yang semestinya ada adalah sikap qital (perang).
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (At Taubah: 5)
Jika mereka bertaubat, maksudnya bertaubat dari kemusyrikannya, dari kethaghutannya, dari kekafirannya, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka jalan dan jangan diganggu. Sedangkan jika pemerintahan ini tidak bertaubat dari kethaghutannya, dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari kekufuran lainnya, maka mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat ini.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (An Nisa: 76)
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dalam rangka mengokohkan hukum Allah, menjunjung tinggi ajaran-Nya, sedangkan orang-orang kafir ─yang di antaranya adalah pemerintahan NKRI ini dan ansharnya─ mereka berjuang, berperang, berkiprah dengan segala cara dalam rangka mengokohkan sistem thaghut. Jadi, mereka berperang di jalan thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin ? Allah menyatakan “sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu”.
Perhatikanlah… mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah wali-wali syaitan yang Allah perintahkan untuk memeranginya.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah, dan dien (ketundukan) hanya bagi Allah semata” (Al Baqarah: 193)
Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, tidak ada lagi ideologi syirik, tidak ada lagi kekafiran, tidak ada lagi penghalang kepada jalan Allah, tidak ada lagi penindasan terhadap kaum muslimin yang taat kepada Allah… bukan taat kepada Pancasila atau Undang Undang Dasar atau demokrasi, tapi hanya taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Selama Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al qital (perang) belum berhenti, selama fitnah (bencana) terhadap kaum muslimin yang taat dan berkomitmen dengan ajaran Allah masih dikejar-kejar atau dipersempit hidupnya, masih ditangkapi, dipenjarakan dan masih dibunuhi… maka berarti masih ada fitnah !! Selama kemusyrikan didoktrinkan maka fitnah masih ada. Selama fitnah masih ada maka al qital tidak akan berhenti.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan)”. Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya dien itu semata-mata untuk Allah”. (Al Anfal: 38-39)
Jadi, al qital tidak akan berhenti terhadap para penguasa yang menentang aturan Allah, yang menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan penindasan terhadap kaum muslimin, merampas dan memeras harta kaum muslimin, baik dengan cara kasar maupun halus, maka qital tidak akan berhenti terhadap pemerintah yang seperti ini.
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (At Taubah: 123)
Perangilah orang-orang yang ada disekitar kamu, yang ada di dekat kamu dan dalam realitanya bukan hanya dekat, akan tapi mereka telah menguasai harta, diri, dan tanah air kita. Merekalah thaghut penguasa negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu. Mereka telah sekian lama memerangi, menindas diri dan merampas harta kaum muslimin. Mereka mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Merekalah orang-rang kafir yang dekat, maka tidak usah jauh-jauh pergi berperang untuk mencari orang kafir, ini yang dekat justeru sudah memusuhi dan memerangi semenjak dahulu. Bahkan para ulama sepakat bahwa memerangi penguasa murtad adalah lebih harus didahulukan memeranginya daripada orang-orang kafir asli, apalagi orang-orang kafir yang jauh…
  1. 6. Hadits ‘Ubadah ibnu Shamit (HR. Bukhari dam Muslim)
«دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا وعُسْرِنا ويُسْرِنا وأَثَرَةٍ علينا، وأن لا ننازع الأمر أهله، قال: إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان«
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami, maka kami membai’atnya, maka di antara yang beliau ambil janjinya atas kami adalah kami membai’at(nya) untuk senantiasa mendengar dan taat, saat senang dan saat benci, di waktu sulit dan waktu mudah kami, serta saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas urusan dari yang berhak (penguasa) kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dengan bukti dari Allah  yang ada pada kalian””
Sedangkan kita sudah banyak melihat bentuk-bentuk kekafiran yang dianut dan masih senantiasa dilakukan penguasa negeri ini, sehingga tidak layak berdalil dengan surat An Nisa: 59 untuk menggelari pemerintah ini sebagai ulil amri, akan tetapi yang tepat adalah ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan hadits ini.
Para ulama sepakat bahwa orang kafir tidak sah untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Bila pemimpin tersebut asalnya muslim kemudian muncul kekafiran darinya, maka wajib untuk mencopotnya dan menggantinya dengan pemimpin yang muslim. Bila tidak mampu mencopotnya karena mereka menggunakan kekuasaan untuk mempertahankannya, maka wajib diperangi.
An Nawawi rahimahullah berkata: “Al Qadli ‘Iyadl berkata: Para ulama telah ijma bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir dan bahwa seandainya si pemimpin menjadi kafir maka dia terlengser – sampai ucapannya – Bila muncul darinya kekafiran atau perubahan terhadap syari’at atau bid’ah, maka dia keluar dari statusnya sebagai pemimpin dan gugurlah (kewajiban) taat kepadanya, serta wajib atas kaum muslimin untuk bangkit menentangnya dan mencopotnya serta mengangkat pemimpin yang adil (sebagai pengganti) bila hal itu bisa mereka lakukan. Dan bila hal itu tidak terbukti bisa dilakukan kecuali bagi suatu kelompok maka mereka wajib bangkit menentangnya dan mencopot orang kafir itu, dan tidak wajib mencopot ahli bid’ah kecuali bila mereka memperkirakan mampu menentangnya, namun bila ternyata jelasa bahwa mereka itu tidak mampu, maka tidak wajib bangkit melawannya, dan hendaklah orang muslim hijrah dari negerinya ke negeri yang lain dan lari dengan agamanya.” (Shahih Muslim Bi Syarh An Nawawi 12/229, dari Al ‘Umdah: 489)
Namun dalam relaita zaman ini, kekafirannya bukanlah kekafiran yang bersifat personal, akan tetapi kekafiran yang kolektif dan sistematis, sehingga jika penguasa yang satu mati, maka sistemnya belum mati dan orang-orang setelahnya akan menggantikan dia, karena sistem kafirnya tidak mati dan tetap mengakar.
Tugas kita adalah wajib menggalang kekuatan dengan langkah awalnya adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggencarkan dakwah Tauhid yang berkesinambungan untuk mencabut akar-akar loyalitas terhadap thaghut di tengah masyarakat, sehingga thaghut tidak mempunyai tempat lagi di tengah-tengah masyarakat ini.
Jihad terhadap thaghut ini haruslah menjadi opini kaum muslimin, kaum muslimin harus merasa memiliki tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan berarti seluruh kaum muslimin harus terjun dengan menenteng senjata, tapi yang paling penting bagi mereka adalah harus memahami betul bahwa penguasa negeri yang mana mereka hidup di dalamnya adalah penguasa murtad kafir yang tidak boleh diberikan loyalitas, sehingga dengan kesadaran itu lunturlah dukungan kepada para thaghut dan tumbuhlah loyalitas kepada orang-orang yang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila ini terwujud, maka kondisi akan berubah, dukungan kepada thaghut akan berganti dengan penentangan, sehingga mudahlah untuk menjatuhkan para thaghut itu.
BERSABARLAH…!!! Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu saja, tahap awal yang patut dilakukan adalah memberikan bayan (penjelasan) atau penyampaian risalah tauhid, karena perlu penyadaran terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa negeri ini dikatakan sebagai penguasa kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu” (Al Baqarah: 191)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka pernah mengusir kaum muslimin. Rasulullah diperintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka telah mengusir Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikan… para thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam dari jajaran masyarakat dengan cara menanamkan image negatif tentang mereka, memprovokasi, memfitnah dan membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh orang-orang yang bertauhid sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami Islam secara utuh, orang yang dangkal pikiran atau orang yang haus dunia dan kekuasaan, maka menjadi wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk mencopot para thaghut ini dari benak masyarakat dengan cara menyebarkan ilmu syar’iy, khususnya tentang tauhid dan kewajiban memerangi penguasa semacam itu.
Begitu pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah menjauhkan orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit hidup mereka, maka wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit terhadap ajaran-Nya untuk menjauhkan thaghut dari harta yang mereka miliki, karena sebagian besar harta yang jatuh ke tangan thaghut digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan orang-orang Quraiys agar dilanda paceklik, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi menindas kaum muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk mendukung hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali dalam kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al Maaidah: 2)
dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Janganlah kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh itu” (An Nisa: 5)
Perhatikanlah… jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang menyerahkan harta kaum muslimin kepada orang-orang yang tidak bisa menggunakan dengan benar, sedangkan bentuk kebodohan yang paling dasyat adalah orang-orang yang tidak suka dengan ajaran tauhid, salah satunya yaitu para thaghut. Allah menyatakan:
“Dan tidak ada yang benci kepada Millah Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri” (Al Baqarah: 130)
Jadi, seharusnya harta yang diambil dari kaum muslimin, mereka pergunakan di jalan Allah, bukan di jalan thaghut yang digunakan untuk memerangi Allah dan kaum muslimin.
Hendaklah diketahui bahwa pemerintahan thaghut ini adalah pemerintahan yang tidak sah, tidak syar’iy, tidak diakui secara Islam. Mereka adalah pemerintah yang memaksakan diri, begitu pula hukum dan undang-undangnya tidak sah, oleh sebab itu kaum muslimin tidak memiliki kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya selama memenuhi dua syarat, yaitu: selama tidak melakukan sesuatu yang dilarang syari’at dan selama tidak menzhalimi orang muslim lainnya.
Demikianlah sikap kita kaum muslim terhadap para thaghut penguasa negeri ini, bukan loyal dan taat kepada mereka, tapi ingatlah bahwa kita adalah orang-orang yang ditindas, diperangi dengan berbagai cara: kasar dan halus, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, tapi… sungguh banyak kaum muslimin tidak menyadarinya. Ini karena kebanyakan kaum muslimin belum memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Mereka mengira penguasa negeri ini adalah muslim, karena para thaghutnya itu shalat, shaum, zakat, bahkan haji berkali-kali, padahal penguasa negeri ini telah melanggar hal yang paling penting dan fundamental, yaitu syahadat Laa ilaaha illallaah…
Namun bila ternya kondisi kita lemah dari memerangi mereka, maka kewajiban kita adalah mempersiapkan diri untuk mencapai kadar kemampuan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sebagaimana mempersiapkan diri untuk jihad dengan menyiapkan kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan itu adalah wajib di saat gugurnya jihad karena kondisi lemah, karena sesungguhnya sesuatu yang mana kewajiban tidak bisa terealisasi kecuali dengan hal itu maka sesungguhnya hal itu adalah wajib.” (Majmu’ Al Fatawa 28/259, dari Al ‘Umdah: 490)
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin…

© Diantaranya adalah: UU No.15 Th. 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah No.24 Th. 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.(ed.)
© Perhatikanlah, demi Allah pada hakikatnya tak ada kaum nasionalis Islami atau yang sering juga disebut  kaum nasionalis religius, karena Islam tak mengenal cinta negara atau bangsa atau tanah air dengan membabi buta, yang menjadi ukuran cinta dan benci adalah hanya keimanan. Islam mengajarkan bahwa kepentingan agama adalah segalanya, jelaslah tak ada kepentingan yang boleh didahulukan di atas kepentingan agama Allah, apalagi kepentingan negara kafir ini. (ed.)

I'DAD AYYUHAL IKHWAH ... !!!

Posted: Sabtu, 11 Desember 2010 by Almuwahhidun in Label:
0

Sopir Anshar Thaghut

Posted: Kamis, 02 September 2010 by Almuwahhidun in Label:
1

Assalamu’alaikum
Afwan Ustadz, saya mau tanya. Saya sekarang bekerja sebagai pengemudi pribadi kepada seorang putri yang masih kuliah di bagian hukum politik dan Ayahnya berstatus sebagai tentara angkatan laut berpangkat mayor serta ibunya PNS angkatan laut.
Nah pertanyaan saya, apakah saya termasuk bagian dari pada anshar thaghut ? dan apakah tauhid dan aqidah saya akan rusak dengan hal ini.
Dan apa hukum yang dikenai terhadap saya jika saya masih tetap menjadi pengemudi pribadinya yang setiap waktu kuliahnya saya harus mengantarkanya dan juga saya harus mengartanya untuk berangkat kerja ke sebuah perusahaan konsultan politik.
Bagaimana Ustadz, mohon dibantu solusinya.

Jawab :
Wa’alaikumussalaam,
Pekerjaan kepada orang kafir menjadi supir, pembantu rumah tangga, tukang kebun dan yang semisal dengannya termasuk muwallah shugra yang haram hukumnya namun tidak menyebabkan kepada kekufuran.
Selain itu anda juga terjatuh kedalam maksiat yang lain yaitu berkhalwat bersama perempuan yang bukan mahram…
Sebaiknya anda tidak bekerja lagi kepadanya… bumi Allah ini luas, jika anda bersungguh-sungguh dengan niat ikhlas mencari rezeki yang halal dan berkah serta bersabar, Allah PASTI akan memberikan jalan… insya Allah.
Atau minimal antum bisa mencari majikan orang muslim.
Wallahu A’lam

Anshar (penolong) Thaghut

Posted: by Almuwahhidun in Label:
2

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘aalamiin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
Amma ba’du:
Ikhwani fillah, materi kita hari ini adalah tentang Anshar thaghut (pembela atau pendukung thaghut).
Pada uraian-uraian yang lalu kita sudah mengetahui tentang status thaghut, baik si thaghut itu adalah hukum buatan ataupun si pembuat hukumnya itu sendiri atau berupa orang yang menerapkan hukumnya.
Jadi, siapa yang dimaksud dengan anshar thaghut itu dan bagaimana status mereka serta apa saja dalil-dalilnya yang menunjukkan terhadap hukumnya tersebut? Kita akan mengetahuinya setelah menyimak penjelasan berikut ini… insya Allah.
Yang dimaksud dengan Anshar Thaghut adalah orang-orang yang membela-bela atau berjuang atau berperang untuk membela dan mempertahankan thaghut, baik dengan lisan, tulisan ataupun dengan kekuatan (senjata).
1.    Anshar Thaghut Dengan Lisan & Tulisan
Yaitu para pembela thaghut yang berjuang membela thaghut dengan lisan, dan kelompok yang masuk di dalamnya adalah ‘ulama-‘ulama suu’ (jahat) yang membela-bela thaghut dengan menyatakan bahwa pemerintah (Thaghut) adalah pemerintah Islam atau Amirul Mu’minin atau pemimpin kaum muslimin yang wajib diberikan loyalitas, sedangkan orang yang memberontak terhadap thaghut ini atau orang yang berusaha untuk menjatuhkannya, maka mereka katakan sebagai bughat (pembangkang) atau sebagai Khawarij. Atau para Mujahidin yang berupaya untuk menjatuhkan dan memeranginya, mereka (ulama-ulama suu’) katakan sebagai bughat atau Khawarij. Maka ‘ulama yang seperti ini termasuk dalam barisan anshar  thaghut.
Juga masuk ke dalam bagian ini adalah para i’lamiyyun seperti orang-orang media yang membela thaghut dengan lisan dan atau tulisannya, yang menyebarkan paham (isme) thaghut atau membela sistem thaghut dengan lisannya melalui media-media mereka, baik itu televisi, media cetak, radio atau melalui apa saja yang membela-bela thaghut dan mengokohkan sistem thaghut, maka ini termasuk anshar  thaghut.
2.    Anshar Thaghut Yang Membela Dengan Senjata Atau Dengan Fisiknya.
Dalam kelompok ini masuk di dalamnya aparat-aparat thaghut yang memang secara sengaja mereka dibentuk dan diadakan untuk tujuan mengokohkan atau untuk menjadi aparat pelindung yang menegakkan hukum thaghut ini, atau untuk mengokohkan singgasana thaghut atau sistemnya.
Jika kita meninjau Undang Undang Dasar 1945 yang ada di negeri ini, maka kita akan mengetahui bahwa aparat kepolisian itu adalah sebagai aparat keamanan yang menegakkan keamanan dan penegak hukum. Mereka adalah sebagai aparat thaghut yang menegakkan hukum thaghut ini dan mereka juga yang menghadang orang-orang yang berupaya untuk merongrong hukum thaghut ini atau melanggar hukum thaghut ini.
Kemudian aparat militer atau tentara, mereka adalah sebagai pelindung yang menjaga serangan dari luar dan yang mengokohkan pemerintah kafir ini, juga yang menghadang segala penyerangan, baik itu penyerangan dari kelompok orang-orang yang bertauhid atau pun dari kelompok lainnya. Jadi, tentara atau aparat militer dibuat dan dibentuk sebagai pelindung yang melindungi negara kafir ini dan termasuk di dalamnya sistem thaghut ini berikut para thaghutnya.
Begitu juga Badan Intelejen Negara, mereka yang mengokohkan thaghut ini dengan fisiknya, atau memata-matai kaum muslimin (tajassus ‘alal muslimin) maka mereka ini termasuk anshar thaghut. Kelompok atau front atau barisan atau apa saja yang mana mereka menggunakan fisik dan senjatanya dalam rangka mengokohkan sistem thaghut ini, baik itu undang-undangnya atau sistem demokrasinya atau pemerintahan kafirnya ataupun falsafah syiriknya, maka mereka itu termasuk barisan anshar thaghut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam banyak ayat Al Qur’an telah menggolongkan atau telah menyamakan thaghut bersama ansharnya di dalam hukum atau sanksi di dunia dan sanksi di akhirat.
Sanksi di dunia ini adalah sebagaimana saat Allah menghancurkan Fir’aun bersama bala tentaranya. Fir’aun adalah thaghutnya, kemudian bala tentaranya adalah ansharnya. Allah telah menghancurkan mereka semua, Allah menyamakan mereka semua dan tidak memilah-milah antara Fir’aun dengan tentaranya atau thaghut dengan ansharnya, Allah Ta’ala mengatakan:
“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan bala tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela”. (Adz Dzaariyaat: 40)
Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyamakan Fir’aun dengan bala tentaranya (ansharnya) dalam hukum atau sanksi yang diberikan kepada mereka di dunia ini.
Kemudian dalam masalah hukum atau vonis di akhirat yang berkaitan dengan masalah dosanya, maka Allah menyamakan mereka, yaitu Fir’aun dengan tentaranya atau thaghut dengan ansharnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haaman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (Al Qashash: 8)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Fir’aun (thaghutnya), Hamman (dia adalah menterinya) atau para pejabat yang ada di sekelilingnya, dan para tentara-tentaranya; seperti polisi atau aparat militernya, bahwa mereka adalah orang-orang yang bersalah.
Dalam dua ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyamakan mereka (thaghut dan ansharnya) dengan hukum atau sanksi, baik itu di dunia maupun di akhirat. Dalam surat Adz Dzaariyat dikisahkan bahwa Allah menenggelamkan mereka semua tanpa memilah-milah mana thaghut atau mana yang ansharnya, dan di dalam surat Al Qashash Allah juga memvonis mereka sebagai orang-orang yang bersalah.
Fira’aun dan para pejabat bawahannya serta bala tentaranya atau thaghut dan ansharnya, Allah samakan dalam vonis di dunia dan akhirat, dikarenakan si thaghut ini tidak bisa menjalankan  kekuasaannya atau melaksanakan hukum-hukum bathilnya, kekafiran dan kezhalimannya tanpa ansharnya itu. Thaghut hanya memerintahkan atau menginstruksikan saja sedangkan ansharnyalah yang langsung melaksanakan kezhalimannya. Tanpa ada anshar di sekeliling thaghut, maka si  thgahut tidak akan bisa berbuat apa-apa. Ansharnyalah yang mengokohkan thaghut berikut sistemnya.
Seandainya ada sekelompok masyarakat yang ingin membunuh thaghut yang mana padahal dia hanya sendirian, sebelum berhadapan dengan thaghut maka sekelompok masyarakat ini akan berhadapan dengan ansharnya terlebih dahulu, ansharnyalah yang pertama kali menghalangi sekelompok masyarakat itu untuk membunuh thaghutnya. Jadi thaghut ini dilindungi oleh ansharnya. Anshar ini sebagai pasak atau pengokoh singgasana thaghut dan pemerintahannya, dengan anshar inilah si thaghut itu melaksanakan kebathilannya. Dengan sebab inilah Allah memvonis para anshar ini sebagai autad (pasak), Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
“Dan Fir’aun yang mempunyai autad/pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti ‘adzab” (Al Fajr: 10-13)
Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan bahwa Fir’aun kokohnya adalah dengan autad (pasak/paku), tanpa ada anshar maka kekuasaan thaghut tidak akan berlangsung lama. Kokohnya sisitem thaghut ini adalah karena adanya anshar di sekeliling thaghut. Sehingga sanksi yang akan mereka terima adalah sama, baik itu thaghutnya maupun ansharnya, dan begitu juga dalam sisi kebersalahannya…
Maka dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa status  anshar thaghut itu sama dengan thaghutnya, yaitu KAFIR. Anshar thaghut mendapatkan vonis seperti apa yang diterima oleh thaghutnya. Di dunia dia divonis kafir dan di akhirat juga dia kekal di dalam api neraka (jika sebelum mati tidak bertaubat, ed.).
Dalil-Dalil Tentang Kekafiran Anshar Thaghut
I.              Dari Al Qur’an
   Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut, maka perangilah wali-wali syaitan itu” (An Nisa: 76)
Dalam ayat ini secara jelas Allah menetapkan vonis bahwa orang yang berperang di jalan Allah maka dia adalah orang yang beriman, sedangkan orang yang berperang di jalan thaghut adalah orang kafir.
Orang yang berperang, baik itu berperang dengan lisan, tulisan atau dengan senjata dan fisiknya. Jika dia berperang atau melakukan pembelaannya di jalan Allah, maka dikatakan sebagai orang-orang yang beriman, dan orang yang berperang atau melakukan pembelaan di jalan thaghut, maka itu adalah orang kafir.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memvonis secara sharih (jelas dan gamblang) bahwa orang yang berjuang dalam rangka mengokohkan sistem thaghut atau membela thaghut adalah orang kafir, baik itu dengan lisan/tulisan seperti para ‘ulama suu’ atau orang-orang media ataupun orang yang terjun dengan fisik dan senjata seperti aparat tentara dan polisi atau orang-orang intelejen atau yang sejenisnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang ini: “maka perangilah wali-wali syaitan itu”.
Dari ayat ini diambil kaidah baku, bahwa hukum asal pada anshar thaghut adalah hukumnya kafir. Atau hukum asal pada orang yang menampakkan sikap pembelaan terhadap thaghut adalah hukum kafir. Atau hukum asal dari barisan anshar thaghut adalah hukum kafir.
   Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang tawalliy[1] kepada mereka maka ia termasuk golongan mereka” (Al Maidah: 51)
Para ulama menjelaskan bahwa barang siapa membela mereka atas kaum muslimin maka dia termasuk golongan mereka
Anshar thaghut yang membela-bela dengan lisan/tulisan atau dengan fisik dan senjata ini, baik itu dalam rangka untuk memerangi kaum muslimin mujahidin atau tawalliy kepada hukumnya itu sendiri berupa sikap setuju dan mengikutinya. Orang yang tawalliy kepada mereka Allah vonis bahwa dia termasuk golongan mereka, yaitu kafir sama halnya dengan mereka. Barangsiapa tawalliy kepada orang kafir apa saja keyakinannya, maka dia sama kafirnya dengan orang kafir  tersebut.
ƒ   Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran), mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah: 257)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan bahwa orang yang walinya atau pemimpinnya adalah thaghut, maka dia adalah orang kafir, sedangkan  bagi anshar thaghut pemimpin mereka yang mereka bela-bela adalah thaghut, maka Allah mencap kafir orang yang menjadikan thaghut menjadi walinya.
  Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang mana dia itu musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir”. (Al Baqarah: 98)
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang Yahudi, di mana ketika mereka mengetahui bahwa yang turun membawa wahyu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah malaikat Jibril, maka orang-orang Yahudi tidak menyukainya. Mereka mengatakan bahwa “(Jibril) itu adalah musuh kami”. Padahal malaikat adalah rasul Allah dan mereka hanya memusuhi Jibril saja, akan tetapi mereka Allah vonis dengan ayat ini.
Orang yang memusuhi satu rasul Allah, baik itu rasul dari kalangan malaikat atau manusia, maka sesungguhnya orang itu telah menjadi musuh Allah, musuh rasul-Nya, musuh malaikat-malaikat-Nya, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memvonisnya sebagai orang kafir.
Bentuk permusuhan macam apa yang lebih dasyat daripada sikap thaghut dan ansharnya yang mana mereka meninggalkan ajaran Allah dan justeru malah membuat ajaran atau hukum sendiri yang diambil dari orang-orang bejat dan cabul, mereka memerangi wali-wali Allah yang akan menegakkan hukum Allah, mereka memenjarakannya, menyiksanya, membunuhnya, mepersempit hidupnya, dan malah memberikan keleluasaan bagi orang-orang bejat, para pelacur, para penjudi dan orang-orang durjana, orang-orang kafir, orang-orang murtad dan orang zindiq untuk merusak ajaran Allah dan merusak di muka bumi ini… bentuk permusuhan terhadap Allah macam apa yang lebih dasyat dari sikap macam tadi…??! Di sini Allah mengatakan bahwa orang yang seperti itu adalah orang-orang kafir.
Sedangkan anshar thaghut, mereka dibuat dalam rangka mengokohkan hukum thaghut dan dalam rangka mengokohkan ajaran yang dimusuhi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu anshar thaghut dan orang-orang yang semacam mereka, Allah katakan bahwa mereka adalah musuh bagi Allah dan mereka adalah orang-orang kafir.
Jadi, ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa siapa yang memusuhi satu rasul Allah, maka itu artinya memusuhi semua malaikat dan memusuhi semua para rasul. Sebagaimana Allah juga mengatakan: “Kaum Nuh telah mendustakan semua rasul”, padahal kita mengetahui sebelum Nabi Nuh belum ada rasul karena beliau adalah rasul pertama, tapi Allah memvonis bahwa kaum Nabi Nuh mendustakan para Rasul. Orang mendustakan Nabi Nuh maka itu telah mendustakan seluruh rasul-rasul Allah yang akan diutus setelahnya.
II.            Dalil Dari As Sunnah
Ketika perang Badr, kita mengetahui bahwa di antara kaum musyrikin ada orang-orang yang mengaku Islam yang tidak hijrah, kemudian mereka dipaksa untuk ikut berperang di barisan kaum musyrikin dalam rangka memerangi kaum muslimin, yang mati dari barisan kaum kafir Quraisy sebanyak 70 orang dan yang menjadi tawanan adalah 70 orang. Dan di antara mereka terdapat Al ‘Abbas (paman Rasulullah), kemudian ketika ditangkap Al ‘Abbas mengatakan: “Ya Rasulullah, saya ini dipaksa”, maka Rasul berkata: “Zhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu”.
Di sini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan Al ‘Abbas sebagai orang kafir dengan menawannya dan menyuruh Al ‘Abbas untuk menebus dirinya sendiri, padahal Al ‘Abbas mengatakan bahwa “saya ini dipaksa”.
Bila saja orang yang berada dibarisan kaum musyrikin untuk memerangi kaum muslimin dengan kondisi dipaksa adalah diperlakukan sebagaimana halnya orang kafir (secara hukum dunia), maka apa gerangan dengan orang yang berada dibarisan kaum musyrikin atau di barisan thaghut tanpa dipaksa tapi penuh ikhlash dan dengan sukarela…???, bahkan dengan cara menyuap agar mereka bisa masuk ke dalam barisannya, mereka mendaftarkan diri dengan mendatangi setiap Kodim atau Polda untuk menjadi calon anshar thaghut, dan ketika sudah masuk menjadi anshar thaghut mereka merasa bangga dengan Korps-nya atau bangga dengan seragamnya…??? maka mereka lebih kafir lagi…!
Ini adalah nash hadits dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memperlakukan Al ‘Abbas sebagai orang kafir karena berada di barisan kaum musyrikin dalam rangka memerangi kaum muslimin di Badr, meskipun Al ‘Abbas ini dalam kondisi dipaksa.
Jadi hukum orang yang berada di barisan kaum musyrikin adalah kafir, sebagaimana juga apa yang menimpa pasukan yang akan menginvasi Ka’bah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membenamkan mereka semuanya mulai dari barisan paling depan hingga paling belakang, Allah membenamkan mereka semua dengan tanpa memilah-milah antara yang dipaksa dengan yang tidak atau orang yang sedang musafir dalam perjalanannya dan berpapasan dengan pasukan mereka, dan dengan tanpa memilah mana orang yang kafir dan mana orang yang muslim, padahal Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang menyembunyikan keimanan di antara mereka dan Maha Mampu untuk memisahkan mereka, Rasul mengatakan tentang kisah ini: “Mereka dihancurkan semuanya dan Allah membangkitkan berdasarkan niatnya”.
Begitu juga bila seandainya ada salah seorang dari barisan thaghut itu yang menyembunyikan keimanannya, namun dia belum berlepas diri dari barisannya karena menunggu suatu moment tertentu dan waktu yang tepat, maka kaum mujahidin tidak disalahkan bila dia (orang yang menyembunyikan keimanan itu) tertembak oleh pasukan mujahidin. Jika saja Allah Maha Kuasa dan Maha Mampu tidak memilah-milah orang yang berada di barisan kaum musyrikin yang memerangi kaum muslimin, maka apa gerangan dengan seorang mujahid yang hanya manusia biasa yang tidak mengetahui hal yang ghaib…?
III.         Dalil Dari Ijma
1.    Ijma dari para shahabat
Ketika terjadi riddah (kemurtaddan) di kalangan kabilah-kabilah Arab, di antaranya kelompok Tulaihah Al Asadiy dan kelompok Musailamah Al Kadzdzab si nabi palsu. Di sini thaghutnya adalah Tulaihah dan Musailamah sedangkan ansharnya adalah para pengikutnya. Di dalam Tarikh disebutkan bahwa pengikut Musailamah Al Kadzdzab berjumlah sekitar 100.000 orang.
Khalifah Abu Bakar dan semua shahabat ijma (sepakat) bahwa para pengikut Musailamah dan para pengikut nabi-nabi palsu yang lainnya adalah orang-orang murtad. Padahal kita mengetahui bahwa kebanyakan para pengikut Muslilamah adalah tertipu oleh seorang da’i yang diutus oleh Rasulullah ke Yamamah tapi kemudian dia malah membelot kepada Musailamah dengan membenarkan apa yang diucapkan Musailamah dan bahkan bersaksi di hadapan masyarakat Banu Hanifah (di Yamamah) bahwa benar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyertakan Musailamah dalam kenabian, masyarakatnya pun mempercayainya dan akhirnya mereka ikut mendukung Musailamah. Akan tetapi para shahabat ijma bahwa mereka yang mengikuti Musailamah itu divonis murtad.
Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah juga mengatakan bahwa: “Para ‘ulama ijma (setelah menyebutkan bahwa mereka itu tertipu oleh saksi tadi) bahwa mereka itu murtaddun walaupun mereka itu bodoh akan hal itu karena tertipu oleh saksi palsu itu”.
Shahabat ijma atas kafirnya mereka, bahkan para shahabat memerangi mereka sampai akhirnya mereka terdesak dalam peperangan, kemudian datang utusan Buzakhakh kelompok Tulaihah Al Asadiy kepada Khalifah Abu Bakar untuk meminta damai. Abu Bakar radliyallahu ‘anhu tidak menerima permintaan damai mereka kecuali dengan syarat-syarat tertenu, dan di antara syarat yang diutarakan oleh Abu Bakar dan disepakati oleh para shahabat yang harus mereka terima adalah mereka harus bersaksi bahwa “orang yang mati di barisan mereka (para pengikut Musailamah) itu adalah masuk neraka”, ini adalah di antara syarat yang harus mereka terima.
Ini merupakan ijma dari para shahabat atas kekafiran atau kemurtaddan anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.
Dan dalam kisah ini ada sekelompok kaum muslimin dalam barisan anshar Musailamah, tapi mereka tidak cepat bergabung dengan barisan kaum muslimin padahal ada kemampuan untuk bergabung karena kekuatan pasukan kaum muslimin yang mendominasi, di antara kelompok itu adalah Muja’ah Ibnu Murarah. Dia tidak mengingkari Musailamah dan tidak cepat bergabung dengan pasukan kaum muslimin, dia ada di antara tawanan pasukan Khalid ibnul Walid, Muja’ah mengatakan: “Saya ini muslim dan saya tidak pernah merubah keyakinan saya”, maka Khalid berkata: “Kamu ini sudah berubah dari sebelumnya”, Muja’ah mengatakan: “Jika seandainya musailamah itu nabi palsu maka itu urusan dia, karena seseorang tidak memikul dosa orang lain”, kemudian kata Khalid: “Kenapa kamu tidak mengingkari seperti Tsumamah dan Al Yasykuriy…?, jika kamu tidak mampu, lalu kenapa kamu tidak cepat bergabung dengan kami ketika mendengar pasukan kami dating…?”. Di sini Khalid ibnu Walid memperlakukan Muja’ah yang ada di barisan Musailamah sebagai orang kafir dengan menjadikannya tawanan, padahal Muja’ah tidak mendukungnya dan hanya berada di barisan Musailamah.
Yang menjadi inti di sini adalah sikap atau ijma shahabat atas kekafiran Musailamah dan ansharnya, dan ketika mengambil perjanjian damai dengan mereka, maka disyaratkan bahwa mereka harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati di antara mereka adalah calon penghuni neraka. Ini adalah vonis kafir di dunia dan di akhirat.
Ini adalah ijma para shahabat yang berlandaskan kepada nash tentunya…
IV.         Kaidah Fiqh (Qawa’id Fiqhiyyah)
Dalam kaidah fiqh ini dikatakan bahwa Thaifah Mumtani’ah Bisy Syaukah (kelompok yang memiliki kekuatan dan melindungi diri dengannya), maka status individu dalam kelompok ini adalah sama seperti status kepala atau pimpinannya.
Ini berlaku dalam segala hal, jika pimpinannya adalah muslim bughat (pemberontak) maka bawahannya juga bughat. Seperti kelompok Mu’awiyyah ibnu Abu Sufyan radliyallahu ‘anhum, beliau waktu itu membangkang dan tidak mau membai’at terhadap Ali, maka setiap individu dalam kelompok yang membangkang ini disebut bughat, bukan hanya Mu’awiyyah (sebagai pemimpinnya,ed) yang di sebut bughat. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang kabar kematian ‘Amar radliyallahu ‘anhu: “Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang membangkang (baghiy)” dan Amar waktu perang Shiffin ini berada di pihak Ali dan terbunuh oleh pasukan Mu’awiyyah radliyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in.
Jika ada sebuah kelompok Khawarij di Darul Islam dan mereka melindungi diri dengan kekuatan pasukannya, maka pimpinan dan seluruh bawahannya adalah Khawarij.
Juga seperti kelompok Musailamah Al Kadzdzab, dia murtad di wilayah Darul Islam dan dia melindungi diri dengan pasukannya, maka setiap individu yang ada di dalam kelompoknya adalah murtad sama seperti pimpinannya.
Jika thaifah mumtani’ah ini ada di luar Darul Islam seperti thaghut (pemerintah) sekarang, di mana mereka yang memegang kekuasaan, pimpinannya adalah thaghut maka setiap individu atau person-person dari ansharnya seperti polisi atau tentara atau intelejennya adalah sama kafirnya seperti thaghut pimpinannya.
Ini adalah empat dalil yang menunjukan bahwa anshar thaghut itu statusnya adalah kafir sama dengan thaghut pimpinannya itu sendiri.
Ini adalah materi yang berkaitan dengan pembahasan Anshar Thaghut (pembela atau pendukung thaghut), semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya sampai hari kiamat. Alhamdulillahirabbil’alamin…

[1] Di antara makna tawalliy adalah seperti apa yang telah dijelaskan dalam bahasan Hukum Loyalitas Kepada kaum Musyrikin, yaitu:
1.     Al Mahabbah (Kecintaan)            
2.     Al Mudlaharah atau An Nushrah (Pembelaan)
3.     Al Muwaffaqah (Menyetujui)