Membongkar Kedok PANCASILA dan UUD 45
Posted: Senin, 20 Desember 2010 by Almuwahhidun in Label: ThaghutDi dalam Bab XV pasal 36 A : ”Lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.
Pancasila adalah dasar negara, sehingga para Thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara RI, serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia. Setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. [Lihat PPKn untuk SD dan yang lainnya, bahasan Ekaprasetya Pancakarsa].
اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Oleh karena itu, dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca : musyrik), para Thaghut (Pemerintah) menjadikan PMP/PPKn sebagai pelajaran wajib di semua lembaga pendidikan mereka.
Sekarang mari kita kupas beberapa butir Pancasila...
Dalam sila I butir II : ”Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan”.
Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan tidak ada hukum yang melarangnya. Seandainya orang muslim murtad dan masuk Nasrani, Hindu, atau Budha, maka itu adalah kebebasannya dan tidak akan ada hukuman baginya. Sehingga ini membuka pintu lebar-lebar bagi kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid Rasulullah bersabda : ”Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Namun kebebasan ini bukan berarti orang muslim bebas melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, tapi ini dibatasi oleh Pancasila, sebagaimana yang tertera dalam butir I : ”Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sehingga bila ada orang murtad dari Islam, terus ada orang yang menegakkan terhadapnya hukum اللّهsubhanahu wata’ala yaitu membunuhnya, maka orang yang membunuh ini pasti dijerat hukum Thaghut.
Dalam sila II butir I : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.
Yaitu bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status itu semua dengan sebab dien (agama), sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, para Demokrat, para Quburriyyun, para Thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan اللّه ta’ala mengatakan :
اللّه subhanahu wata’ala juga berfirman :
اللّه subhanahu wata’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan para Rasul :
Ya, Tauhid... tapi bukan Tauhidullah, namun Tauhid (Penyatuan) kaum musyrikin atau Tauhiduth Thawaaghit.
Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah mengabarkan bahwa :“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena اللّه dan benci karena اللّه”.
Namun kalau kamu iman kepada Pancasila, maka cintailah orang karena dasar ini dan bencilah dia karenanya. Kalau demikian berarti adalah orang beriman, tapi bukan kepada اللّه, namun beriman kepada Thaghut Pancasila. Inilah yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang Esa itu bukanlah اللّه dalam agama Pancasila ini, tapi itulah garuda Pancasila.
Dalam sila III butir I : “Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan”.
Inilah yang dinamakan dien (agama) Nasionalisme yang merupakan ajaran syirik. Dalam butir di atas, kepentingan Nasional harus lebih di dahulukan diatas kepentingan golongan (baca : agama). ApabilaTauhid atau ajaran Islam bertentangan dengan kepentingan syirik atau kufur negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
Sebenarnya kalau dijabarkan setiap butir dari Pancasila itu dan ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Namun disini kita mengisyaratkan sebagiannya saja.
Kekafiran, kemusyrikan dan kezindikan Pancasila adalah banyak sekali. Sekiranya uraian di atas cukuplah sebagai hujjah bagi pembangkang dan sebagai cahaya bagi yang mengharapkan hidayah.
Setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin orang muslim masih mau melagukan : “Garuda Pancasila, akulah pendukungmu...”.
Tidak ada yang melantunkannya kecuali orang kafir mulhid atau orang jahil yang sesat yang tidak tahu hakikat Pancasila.
Sedangkan di dalam UUD 1945 Bab II pasal 3 ayat (1) : ”MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Sudah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum / aturan / undang-undang adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala. Dan bila itu dipalingkan kepada selain اللّه maka itu adalah syirik akbar. اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
UUD 1945 Bab VII pasal 20 ayat (1) : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Padahal dalam Tauhid, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang / hukum / aturan tak lain hanyalah اللّه subhanahu wata’ala.
Dalam pasal 21 ayat (1) : ”Anggota DPR berhak memajukan usul Rancangan Undang-Undang”.
UUD 1945 Bab III pasal 5 ayat (1) : ”Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahkan kekafiran itu tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para Thaghut itu, tapi itu semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat tapi harus sesuai UUD 1945, sebagaimana dalam Bab I pasal 1 ayat (2) : ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Begitu juga Presiden, sebagaimana dalam Bab III pasal 4 ayuat (1) UUD 1945 : ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bukan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi menurut Undang-Undang Dasar.
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final dikembalikan kepada Mahkamah Thaghut yang mereka namakan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX pasal 24C ayat (1) : ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
Padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada اللّه dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Ini adalah tempat untuk mencari keadilan dalam Islam, tapi dalam ajaran Thaghut RI, keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang murtad masuk ke agama lain adalah hak kemerdekaannya dan tidak ada sanksi hukum atasnya. Padahal dalam ajaran اللّه subhanahu wata’ala, orang murtad punya dua pilihan, kembali ke Islam atau dihukum mati, sebagaimana sabda Rasulullah :
Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap meskipun kekafiran adalah hak yang dilindungi Negara dengan dalih HAM, sebagaimana dalam Bab XA pasal 28E ayat (2) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Budaya syirik dan berhalanya mendapat jaminan penghormatan dengan landasan hukum Thaghut, sebagaimana dalam Bab yang sama pasal 28 I ayat (3) : ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
UUD 1945 juga menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir, sebagaimana didalam Bab X pasal 27 ayat (1) : ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Padahal اللّه subhanahu wata’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
اللّه Ta’ala berfirman :
Allahu Akbar !~!